PEKANBARU -
Seluas 53 persen dari total areal perkebunan kelapa sawit di Riau masih
menunggu nasib untuk di-replanting. Saatnya sikap mental petani diubah
agar tidak gamang menghadapi kondisi tertentu.
Dari
dua juta hektare lebih areal perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau,
sebagian besar di antaranya sudah waktunya diremajakan (replanting),
karena berusia antara 25 sampai 30 tahun. Yang kemudian menjadi masalah,
banyak di antara petani sawit yang tidak siap kebunnya dire-planting.
Pola hidup konsumtif, antara lain, dituding sebagai biang penyebabnya.
Kepala
Dinas Perkebunan Provinsi Riau, M. Yafiz, menjelaskan bahwa di antara
dua juta hektare lebih areal perkebunan kelapa sawit itu, sekitar 53
persen di antaranya merupakan areal perkebunan plasma alias milik
masyarakat, sementara sisanya sebesar 47 persen merupakan areal
perkebunan milik sejumlah perusahaan. “Yang terkendala untuk
direplanting adalah areal perkebunan milik masyarakat, terutama
menyangkut persoalan kesiapan dana,” kata Yafiz.
Tapi,
sekitar 47 persen areal perkebunan kelapa sawit yang bernaung di bawah
sejumlah perusahaan swasta nasional yang beroperasi di daerah ini,
menurut Yafiz, sudah banyak yang mulai melakukan replanting. “Pola kerja
mereka sudah tersistem,” kata Yafiz kepada Plasma di kantornya, Senin
(21/2). “Mana tanaman sawit yang sudah waktunya dilakukan peremajaan
karena faktor usia, mereka sudah melakukannya,” sambung Yafiz.
Pernyataan
Yafiz senada dengan Setiyono, Ketua Aspekpir (Asosiasi Petani Kelapa
Sawit PIR) Riau. Menurut Setiyono, dari 134.000 hektare areal perkebunan
kelapa sawit milik petani yang tergabung dalam Aspekpir Riau, seluas
sekitar 10.000 hektare di antaranya sudah saatnya dilakukan peremajaan.
Aspekpir Riau sedang mempelajari dan menimbang-nimbang sejumlah opsi
untuk melakukan peremajaan itu.
Diakui
Yafiz, yang menjadi kendala utama untuk melakukan peremajaan adalah
dana, karena masa tiga tahun sebelum tanaman sawit yang diremajakan
berproduksi merupakan masa mengandung, di mana tanaman sawit belum
memberikan hasil apa-apa. “Banyak petani yang tidak siap untuk itu,”
ungkapnya. Apalagi sebagian besar petani sawit sudah terjebak pola hidup
konsumtif sehingga gamang menghadapi kondisi sulit seperti saat tanaman
sawit tidak memberikan hasil apa-apa.
Menurut
Yafiz, untuk mengatasi masalah tersebut, pihaknya telah melakukan
sejumlah langkah. Antara lain, belum lama ini Disbun Provinsi Riau
menggandeng PT Musim Mas dengan meli¬batkan tenaga ahli dari Bogor dan
Kementerian Pertanian mencoba program replanting dengan pola bantuan
subsidi silang. Pola ini telah berhasil dilakukan di Suma¬tera Utara dan
Jambi dengan men-sela tanaman jagung dan kedele.
“Di
sini pola itu mungkin akan dieksekusi dalam tahun ini,” tandas Yafiz,
sambil menambahkan bahwa pelaksanaan pola tersebut dengan melibatkan PT
Pertani, sebuah BUMN di lingkungan Ke-menterian Pertanian. Menurut
Yafiz, penerapan pola tersebut secara prinsip sudah disetujui
Kementerian Pertanian, dan diperkirakan paling telat April tahun ini
Kementerian Pertanian akan mengeluarkan kebijakan tentang peremajaan.
Pola
lain yang sedang dipelajari adalah sistem subsidi bunga. Dijelaskan
Yafiz, petani hanya membayar bunga tujuh persen/tahun dari total jumlah
kreditnya, sementara sisanya dibayarkan oleh APBN. Masalahnya, menurut
Yafiz, kalau berurusan dengan lembaga perbankan tetap dengan
mengedepankan profit (keuntungan). Untuk pola ini, menurut Yafiz, semua
perbankan dan BMUN sudah berkomitmen untuk ikut membantu.
Untuk
pola ini, menurut Yafiz, pemerintah menyiapkan dana Rp4 triliun, dan
sebesar Rp600 miliar di antaranya akan dialokasikan untuk Provinsi Riau.
“Sejauh ini baru satu yang sudah kita mulai, dan itu pun untuk jenis
dana komersial,” terang Yafiz. Se¬mentara dua lainnya, yaitu yang
berlokasi di Kabupaten Pelalawan dan Rokan Hulu, sejauh ini proses
administrasi untuk ikut serta dalam program tersebut sudah selesai.
“Kita berharap tahun ini bisa dimulai,” sebut Yafiz.
Ditanya
opsi mana yang mungkin bisa diterapkan untuk replanting, terutama areal
perkebunan kelapa sawit milik masyarakat, Yafiz mengatakan pihaknya
fleksibel saja. Tapi satu hal yang diingatkan Yafiz, untuk melakukan
replanting sebagian besar petani tidak memiliki kesiapan dana untuk itu.
Sementara di bagian lain banyak di antara perusahaan yang mau menjadi
bapak angkat, tapi dengan catatan sistem bagi hasilnya bisa diterima
oleh kedua belah pihak.
Yafiz
juga menyinggung rencana replanting perkebunan kelapa sawit anggota
Aspekpir Riau dengan bapak angkatnya PTPN V. Dijelaskan Yafiz, ia pernah
mendengar pernyataan dari pengurus Aspekpir yang menyebut PTPN V masih
mau menjadi bapak angkat mereka. Kepada pengurus itu, Yafiz menyarankan
agar cara berpikirnya dibalik, karena yang punya lahan dan kebun adalah
petani, bukan PTPN V. “Bapak ibarat gadis cantik,” kata Yafiz ke
pengurus itu.
Dengan
kata lain, menurut Yafiz, jangan ditanya apakah PTPN V masih mau
menjadi bapak angkat bagi para petani anggota Aspekpir Riau itu?
Pertanyaan seharusnya: apakah para petani masih bersedia menjadikan PTPN
V sebagai bapak angkat? “Sebab, kalau mereka tidak mau, banyak
perusahaan yang bersedia jadi bapak angkat,” katanya. “Tanah sudah
ditanami sawit, surat-surat lengkap, kenapa harus Bapak yang nyari-nyari
bapak angkat?” sambungnya.
Menunggu Tata Ruang
Pada
bagian lain Yafiz men¬jelaskan program pengembangan perkebunan kelapa
sawit di Riau tahun 2011. “Kita masih menunggu disah¬kannya UU Tata
Ruang,” ungkapnya. Menurut Yafiz, untuk areal perkebunan di bawah 25
hektare merupakan wewenang pemerintahan kabupaten/kota mengeluarkan
izinnya.
Tapi
diakui Yafiz, kontribusi perkebunan kelapa sawit untuk PDRB Provinsi
Riau sangat tinggi, yaitu 15 persen lebih. Sebab, sebanyak 480.000
kepala keluarga lebih menggantungkan nafkahnya terhadap dari dua juta
hektare lebih areal perkebunan kelapa sawit di daerah ini.
Makanya,
Yafiz setuju kalau UU Tata Ruang yang sedang dibahas, masih memberi
kemungkinan pengembangan areal perkebunan kelapa sawit di Riau.